Pekanbaru — Rekor Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kota Pekanbaru yang menembus Rp.1,130 triliun pada 2025 justru memantik kecurigaan publik. Lonjakan tajam ini dinilai bukan semata prestasi, melainkan sinyal kuat bahwa penerimaan pajak daerah selama bertahun-tahun sebelumnya diduga tidak terhimpun secara optimal dan berpotensi bocor hingga triliunan rupiah.
Selama hampir satu dekade, realisasi PAD Pekanbaru tercatat stagnan di kisaran Rp.600–Rp.850 miliar per tahun. Ketika angka tersebut melonjak drastis di 2025, publik mempertanyakan: apakah potensi pajak baru benar-benar meningkat, atau selama ini ada penerimaan yang tidak sepenuhnya masuk ke kas daerah?
Selisih PAD Dinilai Tak Wajar
Mahasiswa Pekanbaru menilai selisih PAD ratusan miliar rupiah per tahun bukanlah angka kecil. Jika selisih Rp.300–Rp.500 miliar terjadi secara berulang selama 8 hingga 10 tahun, maka potensi kerugian daerah dapat mencapai Rp3 hingga Rp.5 triliun.
“Lonjakan PAD 2025 justru menguatkan dugaan bahwa potensi pajak selama ini ada, tetapi tidak seluruhnya tercatat sebagai PAD,” ujar Dedy, mahasiswa di Pekanbaru.
Menurutnya, mustahil potensi pajak muncul secara tiba-tiba hanya dalam satu tahun tanpa perubahan fundamental yang ekstrem pada struktur ekonomi kota.
Dugaan Pola Kebocoran Sistemik
Publik menyoroti sektor-sektor pajak daerah yang selama ini dikenal rawan, seperti pajak hotel dan restoran, parkir, reklame, Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT), serta Pajak Air Tanah.
Modus yang diduga terjadi meliputi manipulasi omzet, rekayasa laporan pajak terutang, permainan piutang pajak, hingga dugaan relasi tidak sehat antara oknum aparat pemungut dan wajib pajak.
“Jika pajak dipungut tapi tidak seluruhnya disetor, itu bukan lagi kesalahan administrasi, melainkan persoalan hukum,” tegasnya.
Piutang Pajak Jadi Titik Gelap
Fakta menumpuknya piutang pajak daerah juga disorot tajam. Piutang yang dibiarkan mengendap bertahun-tahun dinilai membuka ruang negosiasi gelap dan pembiaran sistemik.
“Piutang pajak bukan sekadar angka di laporan. disitulah potensi penyimpangan terjadi jika tidak ditagih secara serius,” kata Dedy.
Publik menilai, tanpa audit menyeluruh, piutang pajak berpotensi menjadi alat menyamarkan kebocoran penerimaan daerah.
Desakan Penyelidikan Aparat Penegak Hukum
Atas kondisi tersebut, mahasiswa mendesak Aparat Penegak Hukum, khususnya Jaksa Penyidik Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Tinggi Riau dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), untuk segera membuka penyelidikan.
Audit penerimaan pajak daerah diminta dilakukan minimal 10 tahun ke belakang, mencakup seluruh sektor pajak dan piutang daerah.
“Prestasi PAD 2025 tidak boleh menjadi tameng. Justru ini harus dijadikan pintu masuk membongkar dugaan kebocoran lama,” ujar Dedy.
Publik menegaskan, jika aparat penegak hukum tidak segera bertindak, maka kecurigaan masyarakat akan terus menguat.Triliunan rupiah uang publik dipertaruhkan. Transparansi dan penegakan hukum adalah satu-satunya jawaban,” pungkasnya.(rls)












